Jurnal Duka Kala Insomnia

Ilana Aninditya
5 min readFeb 23, 2022

--

Kemarin malam, aku tertidur pulas seperti biasa. Entah jam 9 atau 10 malam aku lupa.

Tapi jam 11 malam kemarin ponselku berdering. Dari ruang ICU tempat papaku sedang dirawat yang menelepon. Seorang dokter dengan nada letih mengatakan padaku bahwa kondisi papa semakin memburuk. Tensi darahnya hanya 40/20, padahal papa biasanya bertekanan darah tinggi.

Dalam benakku berkecamuk, sepertinya papa sudah tidak sanggup lagi setelah lebih dari seminggu dirawat di ruang ICU. Aku coba mengirimkan pesan ke keluarga untuk memberitahu kondisi papa, tapi rata-rata tidak lagi merespon karena sudah tidur.

Perasaan aneh muncul kala aku mencoba tertidur lagi, tapi otak seolah tidak berhenti berpikir. Mulai dari kemungkinan terburuk, sampai keajaiban yang mungkin saja bisa terjadi.

Mataku sudah terasa berat, tapi saat memejamkan mata, otakku masih mengajak bercengkrama. Akhirnya pukul 3 pagi baru aku bisa tertidur sejenak dan bertemu papa dalam mimpi.

Jam 6 pagi, anak sulungku membangunkanku. Sungguh hal yang jarang terjadi karena biasanya ia bangun paling siang di antara kami semua. Mungkin karena sehari sebelumnya ia sudah tidur sore dan tetap tidur tepat waktu.

Tapi sepertinya ia terbangun karena bunyi ponselku juga. ICU lagi. Buru-buru kuangkat dengan suara berat, “Halo. Ada apa ya sus?”.

Jawaban mereka sudah kuduga sebelumnya. Papa mengalami henti jantung, namun kata mereka sedang diusahakan. Jadi keluarga harap segera datang ke rumah sakit.

Ya, papa tiada tak lama setelah kami sekeluarga yang tidak pernah pergi liburan ini memutuskan untuk berlibur. Aku kira papa hanya menjawab sekenanya atau sekadar wacana saat mengiyakan ajakan saudara untuk berlibur bersama.

Kakakku bilang, mungkin terakhir kami liburan keluarga itu sudah 20 tahun lalu lamanya. Memang momen liburan yang kuingat hanya saat aku kecil saja.

Papa pernah berkata, “Life’s too short for a holiday.” Suatu hal yang sangat berlawanan dengan artikel-artikel work-life balance yang biasa kutulis. Mungkin pemahaman ini sudah melekat dalam pikiran papa sehingga saat papa “go for holiday”, jadinya “life is short”. (Bercanda ya, Pa)

Setidaknya sudah ada momen liburan (yang baru) dengan papa ya sekarang. Meski Jason dan Karel mungkin tidak bisa mengingatnya, kelak aku bisa ceritakan pada mereka mengenai papa dan kisah lainnya.

Tadi siang dalam prosesi pemakaman yang cepat dan mudah, papa sudah dikebumikan. Aku bertemu saudara, sahabat-sahabat papa yang ikut menyaksikan, tanpa banyak berlinang air mata.

Ini semua sesuai kehendak papa. Papa tidak mau merepotkan keluarga, terutama anak-anaknya. Sudah sebulan belakangan ini papa mendapat diagnosa dokter bahwa papa mengidap Parkinson. Papa merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas secara mandiri, seperti bangun dari duduk dan berjalan.

Aku tahu papa benci kala papa terpaksa menerima uluran tanganku saat menuruni anak tangga, atau saat suamiku mencoba memapahnya untuk sekadar berjalan ke dalam kamar.

Papa juga benci harus pergi ke dokter spesialis. Terlebih karena merepotkan aku atau kakakku yang harus silih berganti mengantarnya. Papa sampai mengucapkan terima kasih atas pendampingan kami yang menurutku lumrah saja dilakukan seorang anak pada orang tuanya yang sudah lansia.

Sepulang dari liburan terakhir kami, papa semakin bergantung kepada kami karena praktis tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Kami sampai berpikir perlu memakai jasa perawat lansia, karena kami juga belum mahir dalam merawat lansia dengan kondisi seperti papa.

Pada saat itu aku pun sudah terhenyak, papa pasti kesal sekali dengan kondisinya yang tak berdaya ini. Benar saja, tak lama kemudian papa demam tinggi. Hingga lama-kelamaan tidak sadarkan diri dan tidak bisa berbicara lagi.

Air mataku langsung turun saat melihat kondisi papa yang demikian. Terlihat papaku yang dulu kerap kali stretching di pagi hari, kini sudah tampak tua dan lemah.

Entah mengapa dalam hati kecilku, aku sudah merasa bahwa lebih baik papa berpulang ketimbang hidup dalam kondisi lumpuh dan tidak bisa apa-apa. Jadi ketika papa dibawa ke Rumah Sakit dan kemudian dirawat di ICU, jauh di lubuk hatiku aku yakin papa lebih bahagia apabila tidak berlama-lama di dunia.

Apalagi papa sudah berkata pada para sahabatnya yang datang menjenguknya kala papa sakit, bahwasanya hidup dan mati sama saja. Hanya berbeda dunia. Siapapun yang hidup, pastinya akan mati.

Papa juga sudah lama berkata padaku kalau papa tidak takut akan kematian. Papa lebih takut kalau merepotkan. Seperti lansia lain yang menghabiskan harta keluarga untuk cuci darah rutin. Papa pernah berpesan kalau beliau sakit, sebaiknya tidak perlu dibawa ke Rumah Sakit. Tapi kondisi papa yang tidak sadarkan diri kemarin membuatnya tak berdaya kala kami menggotongnya ke IGD.

23 Februari 2022. Sehari sebelumnya mamaku dan kakakku mengingatkanku kalau tanggal itu adalah tanggal ulang tahun pernikahan papa dan mama. Kupikir, apa yang perlu dirayakan kalau papanya saja masih dirawat di rumah sakit.

Bukan berarti kami sering merayakannya juga, sih. Papa dan mama mungkin sudah lama sekali tidak merayakan anniversary. Terakhir kuingat saat aku kecil ketika nenekku masih hidup. Perayaannya pun hanya dalam bentuk makan malam di luar sambil mengajak nenekku yang tidak tinggal bersama kami.

Tapi tanggal itu memang akan selalu menjadi spesial, karena pada ulang tahun pernikahan papa mama yang ke-39 itulah papa wafat. Hanya maut yang bisa memisahkan papa dan mama.

Papa dan mamaku mungkin bukan pasangan lovey-dovey yang suka mengumbar kemesraan. Tapi toh mereka bersama sampai akhir hayatnya. Semoga semua anak-anak papa dan mama bisa mengikuti jejak mereka 🙏🏼

*tulisan ini dibuat karena saya mengalami insomnia di tengah proses berduka. Ini malam kedua saya tidak bisa tidur sampai dini hari. Padahal biasanya saya tidak mengalami masalah untuk tidur.

Dari yang saya baca, menulis jurnal bisa membantu pemulihan dari kondisi berduka. Tulisan ini hanya menangkap sebagian memori yang wara-wiri di pikiran saya.

--

--

Ilana Aninditya
Ilana Aninditya

Written by Ilana Aninditya

Between casual writers and professionally paid for it

Responses (1)